• Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
  • (0251) 8313083; WA: 085282566991
  • [email protected]
Logo Logo
  • Beranda
  • Profil
    • Overview
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas & Fungsi
    • Pimpinan
    • Satuan Kerja
    • Sumber Daya Manusia
  • Informasi Publik
    • Portal PPID
    • Standar Layanan
      • Maklumat Layanan
      • Waktu dan Biaya Layanan
    • Prosedur Pelayanan
      • Prosedur Permohonan
      • Prosedur Pengajuan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa
    • Regulasi
    • Agenda Kegiatan
    • Informasi Berkala
      • LHKPN
      • LHKASN
      • Rencana Strategis
      • DIPA
      • RKAKL/ POK
      • Laporan Kinerja
      • Capaian Kinerja
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Realisasi Anggaran
      • Laporan Tahunan
      • Daftar Aset/BMN
    • Informasi Serta Merta
    • Informasi Setiap Saat
      • Daftar Informasi Publik
      • Standar Operasional Prosedur
      • Daftar Informasi Dikecualikan
      • Kerjasama
  • Publikasi
    • Buku
    • Pedum/ Juknis
    • Infografis
  • Reformasi Birokrasi
    • Manajemen Perubahan
    • Deregulasi Kebijakan
    • Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
    • Penataan dan Penguatan Organisasi
    • Penataan Tata Laksana
    • Penataan Sistem Manajemen SDM
    • Penguatan Akuntabilitas
    • Penguatan Pengawasan
  • Kontak

Berita BRMP Perkebunan

Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan

Thumb
15 dilihat       07 Juli 2025

Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara

Repost - agri.kompas.com

Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan

KOPI Liberika dan Excelsa merupakan jenis varietas kopi yang kurang dikenal dibandingkan Arabika dan Robusta. Liberika (Coffea liberica) berasal dari Liberia, Afrika Barat, dan dibawa ke Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke19 (sekitar 1878) sebagai alternatif untuk menggantikan Arabika yang terdampak penyakit karat daun.

Sedangkan Excelsa ditemukan pada tahun 1905 oleh botanis Perancis Auguste Chevalier di sekitar Sungai Chari, dan secara botani diklasifikasikan sebagai varietas Coffea liberica var. dewevrei, meski status taksonominya masih diperdebatkan.

Dengan demikian, keduanya masih berkerabat dekat dalam kelompok “liberoid”, berbeda dengan Arabika (“arabikoid”) dan Robusta (“roustoid”). Dari sisi sejarah perdagangan global, Arabika dan Robusta mendominasi lebih dari 90 persen konsumsi dunia, sementara Liberika dan Excelsa masih tergolong langka.

Di Indonesia, Liberika mulai dikenal sejak akhir abad ke19 dan ditanam di berbagai daerah rawa atau gambut seperti Jambi, Bengkulu, bahkan Kalimantan Barat. Excelsa mulai mendapat perhatian belakangan, dengan beberapa sentra di daerah gambut seperti Tanjung Jabung Barat dan kini semakin populer di kalangan specialty coffee serta diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Karena keduanya tergolong “heritage beans”, Liberika dan Excelsa memiliki potensi sebagai kopi spesialti yang tengah naik daun. Citarasa Liberika yang kompleks, dengan aroma buah, kayu, bahkan sedikit asap, dan rasa buah Excelsa yang asam dan berlapis menjadikannya unik.

Di Indonesia, para peneliti seperti dari BRMP (dahulu Balitbangtan), IPB dan Puslitkoka menyebut kedua varietas ini sebagai emerging specialty beans dari Afrika yang memiliki nilai ekonomi dan ekologis, seperti toleransi lahan gambut dan kontribusi positif terhadap keanekaragaman tanaman lokal.

Identitas Budaya dan Sebaran Geografis 

Kopi Liberika dan Excelsa tidak sekadar hadir sebagai komoditas, melainkan telah menyatu dengan identitas kultural di berbagai wilayah penghasil di Nusantara. Sejak diperkenalkan pada akhir abad ke19, kedua varietas ini bertahan lewat cerita rakyat, tradisi minum kopi, hingga seremoni panen yang diwariskan antargenerasi.

Di beberapa desa, misalnya, ritual “nyruput bareng” menggunakan kopi Liberika menjadi sarana mempererat silaturahmi sekaligus bentuk syukur atas kelestarian lahan gambut mereka. Kehadiran kopi eksotis ini memperkaya khazanah kopi nusantara yang selama ini didominasi Arabika dan Robusta.

Berbeda dari dua varietas arus utama tersebut, Liberika dan Excelsa memiliki julukan lokal yang mencerminkan kedekatan emosional masyarakat. Liberika kerap disebut “kopi nangka” atau “kopi nongko” karena aroma panggangannya mengingatkan pada buah nangka.

Sedangkan sebagian petani di Sumedang menyebut keduanya “kopi Afrika” atau bahkan “kopibuhun” (kopi leluhur). Penamaan ini menandai penghormatan terhadap warisan nenek moyang sekaligus cara membedakan rasa dan karakter mereka dari kopi lain di pasaran.

Di Kendal, Jawa Tengah, petani masih merawat rumpun Liberika yang konon telah berusia ratusan tahun, membuktikan nilai historis yang melekat pada tiap batang kopi. Secara geografis, Liberika tumbuh paling baik pada lahan gambut ber-pH rendah dan kondisi tergenang musiman.

Jambi dan Bengkulu menjadi sentra utama, diikuti Kepulauan Meranti (Riau) yang menjadikan Liberika sebagai “penjaga” ekosistem gambut karena perakarannya mampu menahan erosi. Jawa pun punya kantong produksi, dari Kendal hingga Jember, meski kepadatan pohonnya lebih jarang akibat ukuran batang yang tinggi dan besar.

Popularitasnya di kalangan pegiat specialty coffee terus menanjak, sementara kafe-kafe setempat berlomba menawarkan “Liberika aroma nangka” sebagai daya tarik kuliner sekaligus produk wisata agro. Excelsa, di sisi lain, lebih adaptif pada dataran rendah tropis ber-pH tanah relatif tinggi.

Budi dayanya terkonsentrasi di Tanjung Jabung Barat (Jambi) dan sebagian kawasan Riau, namun kini merambat hingga Temanggung dan Sumedang. Cita rasa Excelsa yang masam gurih dan body yang tebal membuatnya kian diminati kompetisi kopi internasional.

Ketika barista Ryan Wibawa menyajikannya di panggung "World Brewers Cup 2024" di Chicago, ia menegaskan bahwa Liberika, Excelsa, dan Arabika merefleksikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mewakili keragaman rasa sekaligus budaya Indonesia di mata dunia.

Kehadiran Liberika dan Excelsa, dengan segala keragaman nama, sejarah, dan persebarannya, menegaskan bahwa kopi tidak hanya soal ekonomi, melainkan juga narasi kebudayaan. Di tengah tren kopi spesialti global, kedua varietas ini menjadi simbol kekayaan hayati yang mengangkat citra daerah asal sekaligus membuka peluang wisata, riset, dan inovasi kuliner.

Mempertahankan pohon kopi “buhun”, melestarikan praktik tanam tradisional, serta mengemas cerita di balik tiap cangkir adalah ikhtiar menjaga warisan leluhur dan memastikan bahwa kopi eksotis Nusantara tetap lestari serta diakui dunia.

Keunggulan Kompetitif Bagi Petani Kopi 

Kopi Liberika dan excelsa tidak hanya hadir sebagai komoditas pertanian, tetapi juga telah menyatu dengan identitas budaya masyarakat di sejumlah wilayah penghasil kopi di Indonesia. Sejak diperkenalkan pada akhir abad ke-19, kedua varietas ini bertahan lewat tradisi tutur, kebiasaan minum kopi, hingga seremoni panen yang diwariskan secara turun-temurun.

Di beberapa desa, ritual “nyruput bareng” menggunakan kopi Liberika tidak sekadar menjadi ajang bersantai, melainkan juga wujud syukur atas kelestarian tanah gambut yang menopang kehidupan mereka. Keunikan rasa dan daya adaptasi tanaman ini menjadikannya bagian dari khazanah kopi Nusantara yang selama ini didominasi oleh Arabika dan Robusta.

Kedekatan masyarakat dengan kedua varietas tersebut tercermin dari berbagai nama lokal yang diberikan. Liberika kerap disebut “kopi nangka” atau “kopi nongko” karena aroma khas panggangannya yang mengingatkan pada buah nangka.

Sementara itu, sebagian petani di Sumedang menyebut Liberika dan Excelsa sebagai “kopi Afrika” atau “kopi buhun” (kopi leluhur), istilah yang mencerminkan penghormatan terhadap warisan nenek moyang. Di Kendal, Jawa Tengah, pohon Liberika tua yang diduga berusia ratusan tahun masih dirawat dan dipanen secara tradisional.

Julukan dan perlakuan khusus ini memperlihatkan bahwa kopi bukan sekadar hasil tani, melainkan juga warisan hidup yang mengandung nilai sejarah dan identitas lokal. Sebaran geografis kedua varietas ini juga menunjukkan karakter adaptif dan keterkaitannya dengan ekosistem lokal.

Liberika banyak tumbuh di lahan gambut ber-pH rendah seperti di Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan Meranti, di mana akarnya berperan penting dalam menjaga kestabilan tanah. Sementara itu, Excelsa lebih cocok di dataran rendah tropis dengan pH tanah lebih tinggi, seperti di Tanjung Jabung Barat dan sebagian wilayah Riau, serta mulai menyebar ke Temanggung dan Sumedang.

Keunikan rasa Excelsa yang masam, gurih, dan ber-body tebal membuatnya kian diminati, bahkan mewakili Indonesia di ajang "World Brewers Cup 2024". Liberika dan Excelsa pun kini menjadi simbol kekayaan hayati dan kultural kopi Nusantara yang patut dijaga, dikembangkan, dan diperkenalkan ke panggung dunia.

Prev Next

- PSI Perkebunan


Pencarian

Berita Terbaru

  • Thumb
    Menembus Pasar Premium Organik
    07 Jul 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
    04 Jul 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Koordinasi Budidaya Padi: BRMP dan Dinas Pertanian Labuhanbatu Tinjau Inovasi di Bogor
    04 Jul 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Menangkap Peluang Hilirisasi Rempah Indonesia
    03 Jul 2025 - By PSI Perkebunan

tags

BRMP Perkebunan Kopi Kopi Indonesia Kopi Liberika

Kontak

(0251) 8313083; WA: 085282566991
(0251) 8336194
[email protected]

Jl. Tentara Pelajar No. 1
Bogor 16111 - Jawa Barat
Indonesia
16111

website: https://perkebunan.brmp.pertanian.go.id/

© 2025 - 2025 Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan. All Right Reserved